Pada suatu waktu, rumah mbah saya di Kampung Tengah, Jakarta Timur pernah ditanami oleh berbagai jenis tanaman dan juga pohon. Salah satu pohon yang paling terkenang di dalam benak saya adalah pohon sawo mentega. Pohon tersebut begitu sulit saya lupakan karena keunikan buahnya.
Di lingkungan rumah mbah saya, buah sawo mentega lebih dikenal sebagai buah jigong. Julukan tersebut berasal dari mbah perempuan saya sendiri. Dinamakan buah jigong karena bau dari buah sawo mentega tersebut begitu menyengat seperti ludah manusia alias jigong. Meskipun demikian, banyak orang-terutama para orang tua-yang menyukai buah tersebut.
Buah sawo mentega ini memiliki karakteristik yang benar-benar berbeda dari buah sawo yang saya kenal selama ini. Jika sudah benar-benar matang, kulit serta daging dari buah tersebut akan berwarna kuning atau oranye menyala. Sementara tekstur daripada daging buahnya sendiri hampir mirip dengan ubi. Dilansir dari situs Fruitsinfo.com, sawo mentega mengandung banyak nutrisi, terutama vitamin.
Ketika buah-buah sawo mentega berjatuhan dan bergeletakan di area pekarangan rumah mbah saya, ada saja orang yang akan mengambilnya. Entah itu dari keluarga sendiri, tetangga, bahkan orang yang hanya sekadar numpang lewat. Mbah saya-selaku orang yang menanam sekaligus memiliki pohon sawo mentega-tidak keberatan dengan hal tersebut.
Mbah saya justru sengaja menanam pohon sawo mentega tersebut sebagai ladang amal baginya. Dengan demikian, siapa pun bebas mengambil buahnya. Oleh karena itu, buah sawo mentega yang telah jatuh terkadang akan ditaruh di atas pagar agar orang-orang yang lewat dapat mengambilnya. Hitung-hitung biar tidak mubazir karena tidak ada yang memakannya.
Ada salah satu cerita yang menarik pada saat pohon sawo mentega di rumah mbah saya masih ada. Ketika saya sedang menyapu halaman depan rumah mbah, ada seseorang yang ingin mengambil sawo mentega yang sudah diletakkan di atas pagar. Pada saat itu ia bertanya “Buahnya dijual gak?” Spontan saja saya menjawab “Tidak, ambil saja buahnya”.
Sebenarnya sih saya bisa saja mengatakan kalau sawo mentega tersebut dijual dengan harga sekian. Lumayan lah uangnya bisa digunakan untuk tambahan ongkos saya ketika berangkat atau pulang kuliah. Namun, saya sendiri tidak mewujudkan niat tersebut.
Selama berdiri selama kurang lebih belasan tahun, tentu ada banyak cerita yang saya rasakan dari keberadaan pohon sawo mentega di rumah mbah. Terlebih dahulu, saya akan menceritakan dukanya.
Pertama, pohon sawo mentega di rumah mbah saya menghasilkan banyak sampah berupa daun-daun. Pada waktu pagi, area pekarangan depan di rumah mbah saya biasanya akan dipenuhi oleh daun-daun yang dihempaskan angin malam. Melelahkan sekali rasanya ketika harus menyapu sampah tersebut.
Lalu, keberadaan pohon sawo mentega di rumah mbah saya juga menimbulkan kesan horor di waktu malam. Ketika pohon tersebut masih berdiri kokoh, berkali-kali saya mendengar suara ‘gedebug’ yang begitu nyaring pada waktu malam. Usut punya usut, suara tersebut untungnya berasal dari buah sawo mentega yang jatuh. Bukan dari yang lain.
Sementara suka yang saya rasakan dari keberadaan pohon sawo mentega di rumah mbah adalah pohon tersebut mampu meredam sinar matahari yang datang. Dengan demikian, rumah mbah akan terasa sejuk sepanjang hari.
Pohon sawo mentega di rumah mbah saya pada akhirnya ditebang pada akhir tahun 2018. Sisa batangnya dibiarkan teronggok di tempatnya berdiri dahulu. Meskipun demikian, aroma dari buahnya masih terkenang di otak saya.
Mengenang Buah Jigong alias Sawo Mentega di Rumah Mbah - Yoursay
Read More
No comments:
Post a Comment