- Buah merah Papua [Pandanus conoideus], secara umum dimanfaatkan sebagai bahan pangan, penyedap makanan, dan obat alami.
- Diperkirakan, lebih dari 30 varietas buah ini ditemukan di Papua, masing-masing dengan nama berbeda untuk tiap karakter.
- Tumbuhan ini memiliki bentuk menyerupai pandan dengan tinggi mencapai 16 meter. Tinggi batang bebas cabang sekitar 5-8 meter, ditopang akar tunjang. Buahnya berbentuk lonjong, dengan kuncup tertutup daun.
- Bagi Suku Dani, buah merah memiliki tiga fungsi yaitu sosial, kesehatan, dan ekonomi.
Buah merah Papua [Pandanus conoideus] secara umum dikenal sebagai tanaman obat. Diperkirakan, lebih dari 30 varietas buah ini dapat ditemukan di Papua, masing-masing dengan nama berbeda untuk tiap karakternya.
Tumbuhan ini memiliki bentuk menyerupai pandan dengan tinggi mencapai 16 meter. Tinggi batang bebas cabang sekitar 5-8 meter, ditopang akar tunjang. Buahnya berbentuk lonjong, dengan kuncup tertutup daun.
Baca sebelumnya: Buah Merah, Tanaman Prasejarah dari Tanah Papua
Lebih dari itu, buah merah memiliki cerita unik dan menarik. Ada mitos-mitos di masyarakat Papua mengenai buah yang termasuk keluarga Pandanaceae ini.
“Etnis Yali di Kabupaten Yalimo, Lembah Baliem bagian timur, memiliki mitos asal-usul buah pandan berwarna merah. Kaum perempuan di sana tidak memakan buah merah karena ada mitosnya,” kata Hari Suroto, peneliti arkeologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, kepada Mongabay, Sabtu [05/02/2022].
Menurutnya, bagi masyarakat Yali, buah ini sebenarnya dahulu berwarna hitam. Kejadian bermula dari makhluk mistis yang memberitahukan pada seorang pria Yali bahwa buah pandan berwarna hitam tersebut akan berubah menjadi merah. Pria itu kemudian terus menerus melihat apakah buahnya sudah menjadi merah atau belum. Hingga suatu waktu, seorang wanita pergi melihat buah pandan hitam itu. Perempuan ini tak lain adalah adik pria tersebut.
Dia mengoleskan darah ke buah pandan dan selanjutnya memberitahukan kepada kakak laki-lakinya: “Kakakku, pergilah dan lihatlah buah itu!”
Lelaki itu kemudian pergi dan melihat. “Ternyata seluruh buah sudah menjadi merah,” cerita Hari.
Dengan sebuah pisau tulang dari kasuari, prita itu membelahnya, memasaknya dan memakannya. Terkait kejadian itu, orang mengira kaum perempuan telah memberikan buah tersebut untuk selamanya kepada kaum pria.
Itulah sebabnya, mengapa kaum perempuan etnis Yali tabu memakannya, karena perempuan telah mengoles buah ini dengan darah.
“Sekarang, sebagian masih percaya, terutama generasi tua. Tapi kalau generasi muda sudah terbiasa memakannya,” ungkap Hari.
Baca: Matoa, Buah Khas Papua yang Kaya Manfaat
Bukan buah biasa
Masyarakat Papua secara luas, memanfaatkan tanaman ini sebagai sumber makanan sekaligus penyedap makanan, serta sebagai obat.
Penelitian Lisye I. Zebua dan Eko B. Walujo, yang diterbitkan dalam Jurnal Biologi Papua [April, 2016] dengan judul “Pengetahuan Tradisional Masyarakat Papua dalam Mengenali, Mengklasifikasi, dan Memanfaatkan Pandan Buah Merah” menjelaskan bahwa pengelolaan pandan buah merah sangat beragam. Setiap suku memiliki cara berbeda dalam memanen dan mengolahnya.
Menurut mereka, suku-suku yang mendiami wilayah dataran rendah di Papua, misalnya Suku Hatam di Pegunungan Arfak, Manokwari, dan Suku Mora di Kabupaten Yapen-Serui, memiliki perbedaan dalam mengelola pandan buah merah.
Sementara suku-suku yang mendiami dataran tinggi, misalnya Suku Dani di Pegunungan Cyclops-Jayapura, di Distrik Kurulu dan Kelila, Jayawijaya, memikili cara pengelolaan pandan buah merah yang hampir sama, walaupun secara geografis mereka sudah terpisah tempat tinggalnya.
Baca: Kopi Arabika Papua dan Ancaman Nyata Perubahan Iklim
Penelitian itu mengatakan, sebelum dikenal luas, masyarakat Papua lebih dulu mengenal dan memanfaatkan serta membudidaya pandan buah merah. Hal tersebut dapat diketahui dari cara mengklasifikasi dan cara pemberian nama setiap kultivar buah merah yang ditemukan. Setiap suku di Papua yang tinggal di wilayah pegunungan dan pantai, memiliki cara berbeda dalam mengenalnya.
“Cara mengenali didasarkan pada ukuran buah, biji, daun, susunan duri pada akar, kuantitas minyak yang dihasilkan, dan warna buah,” ungkap peneliti.
Pada penelitian ini ditemukan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan buah merah lebih beragam pada suku yang bermukim di wilayah dataran tinggi, misalnya Suku Dani di Kabupaten Jayawijaya. Sedangkan Suku Mora di Kabupaten Yapen-Serui dan Suku Hatam di Pegunungan Arfak-Manokwari, bermukim di wilayah pesisir pantai memanfaatkan buah merah hanya sebagai makanan pelengkap.
Baca juga: Mengenal Nothofagus, Pohon yang Menjadi Sorotan UNESCO di Papua
Bagi Suku Dani, buah merah memiliki tiga fungsi. Pertama, fungsi sosial, artinya apabila mereka dapat menanam pandan buah merah dalam jumlah besar akan menaikkan wibawa sehingga mereka dihormati.
Misalnya, ketika pelaksanaan upacara-upacara besar, seperti pesta adat perkawinan, atau penyambutan tamu, maka yang dapat menyumbang buah merah dalam jumlah besar serta berkualitas akan dihormati.
Kedua, fungsi kesehatan. Suku Dani selalu mengonsumsi minyak buah merah untuk menjaga stamina tubuh. Ketika mereka hendak melakukan perjalanan jauh, atau membuka kebun, mereka selalu membawa buah merah sebagai bekal, selain keladi atau ubi manis.
Kaum peramu selalu berusaha memelihara kesehatan badannya. Ini dikarenakan, mereka harus memperoleh segala sesuatu dengan tenaga sendiri, sehingga mereka harus memelihara badan sebaik mungkin. Kaum peramu selalu mencari obat-obatan di hutan dan rawa agar badannya tetap sehat.
Ketiga, fungsi ekonomi. Setelah buah merah dikenal luas sebagai bahan obat, harganya di pasar-pasar tradisional menjadi mahal. Kadang, Suku Dani melakukan barter dengan barang lain sesuai kebutuhan ketika mereka berjualan di pasar-pasar tradisional. Misalnya, mereka menukar buah merah dengan beras, rokok, pakaian, dan lainnya.
“Sementara, bagi masyarakat Papua yang mendiami pesisir pantai, buah merah kurang memberi fungsi berarti. Buah merah dikelola sesuai kebutuhan, yang pada umumnya langsung dikonsumsi tanpa diproses lebih dulu,” tulis peneliti.
Buah Merah Papua, Bukan Buah Biasa - Mongabay.co.id
Read More
No comments:
Post a Comment